30
Aug
10

Sang Hawa di Gerbong Khusus Wanita

“Kami mohon pengertian dan kesadaran penumpang laki-laki untuk tidak berada di gerbong satu dan delapan karena khusus untuk wanita”. Belakangan, kata-kata ini sangat familiar di telinga para pengguna kereta api listrik Jabodetabek. Hampir di setiap pemberhentiannya, speaker di dalam kereta akan memberikan arahan kepada penumpang kalau sekarang sudah ada gerbong yang dispesialkan untuk kaum hawa, kaum yang konon disebut sebagai kaum yang lemah lembut.

Banyak memang keistimewaan yang diberikan untuk perempuan. Baik itu keistimewaan yang diberikan tuhan maupun keistimewaan yang dibentuk oleh tiap-tiap kelompok masyarakat. Bahkan keistimewaan itu pun didapat di dalam kereta. Luar biasa….

Perempuan memang pantas diistimewakan, karena memang dia adalah makhluk yang istimewa. Tuhan memberikan hati yang jauh lebih halus kepadanya dibanding makhluk lain yang disebut pria. Tuhan pula yang menghadiahinya air mata yang lebih banyak agar setiap beban yang yang ia pikul bisa mengalir bersama tetesannya. Begitu lembutnya perempuan sehingga sangat pantas untuk dilindungi dari sergapan para penjahat kelamin di dalam kereta. Yah…. Gerbong khusus wanita memang upaya untuk menjawab permasalahan semakin maraknya pelecehan seksual di dalam kereta.

Begitu antusias para wanita dengan kehadiran gerbong khusus perempuan. Ini bisa dilihat dari semakin penuhnya gerbong ini karena peminatnya semakin melonjak. Jadinya, tak jarang gerbong ini akan lebih penuh sesak dibandingkan gerbong lainnya. Penuh sesak oleh para kaum hawa. Entah itu yang duduk, berdiri, atau kaum hawa yang membawa kursi lipat, dan bahkan yang duduk di lantai beralaskan koran.

Sore itu, aku sengaja naik kereta untuk ke kota terlebih dahulu. Harapanku aku bisa mendapatkan tempat duduk. Baru sampai gondangdia mengarah kota, gerbong khusus wanita ini sudah tak bersisa kursi. Walhasil, penumpang mulai dari Gambir sudah pasti tidak akan mendapatkan tempat duduk. Kubuka buku untuk menghilangkan pandangan yang penuh sesak di depanku oleh para pegawai yang baru pulang dari kantor. Setelah berhenti sejenak di kota, kereta memulai perjalanannya ke Depok. Beberapa stasiun berhenti dan aku semakin tenggelam ke dalam kisah persahabatan yang ada di buku itu. Hingga sampai pada suatu stasiun yang tak mampu aku identifikasi karena penuhnya kereta, aku melihat sesosok ibu menggendong anaknya yang masuk ke dalam kereta. Jarakku dengannya memang jauh, sehingga belum aku bermaksud memberikan tempat dudukku, aku melihat perempuan itu sudah menghilang di deretan kursi di hadapanku. “Alhamdulillah, ibu itu udah duduk”. Kantuk mulai menyelimutiku yang akhirnya menguatkanku untuk menyudahi bayangan cerita di otakku yang mulai memerintahkanku untuk tidur. Kututup dan kusimpan. Akhirnya kuterpejam….

“Mbak…mbak…bisa gak ngasih tempat duduknya buat ibu bawa anak?’ Suara itu sayup-sayup terdengar bersamaan dengan mimpi yang enggan secara keseluruhan memasuki pikiranku. Kubuka mata dan kucari asal suara itu. Ternyata seorang perempuan yang berdiri lumayan jauh dariku menjerit entah ke siapa, karena dia hanya melempar kata itu ke siapa saja. Langsung kujawab jeritan perempuan itu mempersilakan ibu yang membawa anak itu untuk duduk. Belum kulihat ibu yang dimaksud. Kucari dia dimana dan perempuan yang menjerit itu mulai membukakan jalan untuk ibu-ibu yang dimaksud. Masyaallah, ibu yang dimaksud ternyata adalah ibu yang aku lihat tadi. Seorang ibu yang berjuang masuk ke kereta yang penuh dengan menggendong bayinya dan kukira sudah mendapatkan kemurahan hati berupa kursi dari salah seorang perempuan di dalam gerbong. Melihat begitu jauh jaraknya dariku akhirnya kubangunkan perempuan yang duduk berjarak dua orang di sebelah kiri untuk bergeser ke arah kursiku sehingga ibu itu tidak perlu susah-susah mencapai posisiku. Perempuan…perempuan…

Teringat pula cerita seorang teman yang sedang hamil. Memang siy, kalau tidak dilihat seksama, dia seperti tidak hamil. Gak keliatan hamilnya. Tapi kalau kita mau lihat lebih lagi, mulai terlihat tuh perut membuncit. Nah, suatu hari dia naik kereta khusus perempuan. Untungnya dia dapat tempat duduk. Tak berapa lama, seorang ibu hamil masuk dan berdiri di dekatnya. Hamil tua perempuan itu. Dilihat sekelilingnya, tak ada satu pun orang yang bersedia memberikan tempat duduknya. Dia memang bukan tipe orang yang meminta orang lain untuk melakukan sesuatu sehingga mulutnya tak kunjung mampu untuk meminta seseorang berdiri memberikan kursinya untuk sang ibu hamil. Yang ada di pikirannya saat itu adalah dia akan memberikan kursinya untuk sang ibu di stasiun Lenteng Agung dengan pemikiran bahwa dia akan kuat berdiri dari Lenteng Agung menuju Depok. Sesampainya di LA, diberikannya kursinya untuk ibu hamil itu. Melihat temanku yang juga sedang hamil, sontak saja si ibu menolak. Temanku hanya menjawab, “Gimana lagi bu? Gak ada yang mau ngalah ngasih tempat duduknya ke ibu.” Tak berapa lama kemudian, seorang perempuan memberikan tempat duduknya untuk si ibu hamil.

Perempuan… Makhluk yang penuh dengan keistimewaan. Tidak hanya kuat, tapi dia juga lembut. Tidak hanya mampu untuk berdiri tegak tapi juga sudi untuk tersungkur. Makhluk yang seharusnya memiliki empati yang sangat dalam, karena konon tuhan memberikan hati yang seluas samudera untuknya. Makhluk yang tak malu untuk mengalirkan air mata untuk segala hal yang dianggap konyol dalam otak makhluk lain. Makhluk yang dengan besar hati mau memberikan sesuatu yang sangat berharga ketika hatinya terketuk. Tapi, perempuan pula yang merupakan makhluk yang seringkali mau untuk dianggap lemah. Makhluk yang dengan sadar menutup keempatian dari dirinya. Makhluk yang dengan sengaja menutup matanya ketika perempuan lain sangat membutuhkan aluran tangannya.

Gerbong khusus perempuan ada untuk suatu jawaban atas permasalahan sosial akan banyaknya penjahat kelamin. Tapi ternyata, gerbong ini bisa pula menjadi tolak ukur bagaimana kaum hawa dinilai. Apakah ia mau dinilai sebagai kaum yang lemah, kaum yang tak berempati, kaum yang sudi menyunat mata hatinya sendiri. Kaum yang seharusnya paling paham bagaimana sulitnya bersesak2an dengan menggendong anak. Kaum yang seharusnya paling paham bagaimana beratnya beban seorang ibu hamil ketika berdiri. Seharusnya kaum hawa lah yang paling memahami itu. Tapi, kondisi yang ada, minimal di gerbong khusus wanita, kaum perempuan sendiri lah yang memperkosa keistimewaan yang telah tuhan berikan padanya. Kaum perempuan sendiri yang dengan bangga mematok bahwa dirinya lemah dan perlu untuk dikasihani.

Miris melihatnya, dimana perempuan yang seharusnya menjadi garda terdepan pembela kaumnya sendiri, tidak lagi memiliki empati yang cukup untuk melihat di sekitarnya. Hanya dengan alasan aku capek, aku ngantuk, aku kan juga perempuan, sampai tegas menggerus sedikit demi sedikit ketukan-ketukan di hatinya.


2 Responses to “Sang Hawa di Gerbong Khusus Wanita”


  1. December 4, 2010 at 3:01 pm

    hm.. yap pantas lah ^_^
    smoga ditambah lagi ya gerbongnya..

  2. May 13, 2014 at 6:20 pm

    Saya tertarik sekali dengan cerita mbak seputar fenomena yang terjadi di gerbong wanita. Saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang perilaku wanita seperti yang mbak ceritakan.

    Saya ingin minta partisipasi mbak untuk mengisi kuisioner singkat dengan mengklik:

    https://docs.google.com/forms/d/1mGmC99cd8js5U4DsDCA8e0DcPr4lEvvadNWIKiCCoPI/viewform?usp=send_form

    Respon mbak akan sangat bermanfaat bagi penelitian saya.
    Atas perhatian dan partisipasi saya ucapkan terimakasih 🙂


Leave a comment


August 2010
M T W T F S S
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031